Mengintip Kemenangan sambil Mempersiapkan Mental Kalah
![]() ILUSTRASI/IST |
Wajar belaka jika harapan pecinta bola Indonesia membuncah. Firman Utina dkk tak hanya diharapkan menang, tapi juga juara��"sebagai lambang kita kembali digjaya di Asia Tenggara. Dalam serangkaian pertandingan yang dijalani Timnas Indonesia di GBK, dukungan suporter begitu riuh-rendah. Di tengah kebisingin politik, suasana sosial yang makin tak guyub hingga tingkat kesejahteraan yang tak kunjung membaik, sepak bola menjadi semacam hiburan buat rakyat kebanyakan. Memang sepak bola, adalah olahraga rakyat yang murah meriah. Seluruh penduduk di sekujur negeri ini bisa memainkannya.
Pun begitu, sepak bola bisa menjadi kehilangan substansinya sebagai permainan manakala pihak-pihak di luarnya memanfaatkan sesuatu yang bukan olahraga. Ini pernah terjadi sebelum Timnas Indonesia melakoni laga tandang di Stadion Bukit Jalil, Kuala Lumpur Malaysia. Kini marilah menjejakkan kaki di bumi. Timnas Indonesia belum juara dan apresiasi pada segenap skuad Merah Putih sepatutnya proporsional, tidak lebay kata generasi muda zaman twitter dan facebook.
Timnas kalah di Bukit Jalil yang diwarnai insiden sinar laser ke tengah lapangan��"yang dituding berasal dari suporter Malaysia. Harapan untuk membalas dendam atas kekalahan telak itu merebak dan akan bermuara di GBK, Rabu, 29 Desember 2010. Saking larutnya pada sepak bola, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun mengatakan agar Timnas Indonesia tetap optimistis. Masih ada 90 menit yang bisa menentukan hasil akhir final Piala AFF, begitu kurang lebih Yudhoyono menerbitkan harapan.
Yudhoyono pun minta pecinta Indonesia tetap mendukung sepenuh tenaga untuk menyemangati Firman Utina dkk di GBK. Harapan menang dikobarkan, bukan saja oleh Yudhoyono, Mennegpora Andi Mallarangeng, Ketua PSSI Nurdin Halid, duet pelatih dan asistennya, Riedl-Pikal hingga media cetak dan elektronik. Ada nama yang sama: Jadikan laga di GBK untuk membalas kekalahan dan juara Piala AFF 2010.
Sepak bola adalah pertandingan yang dramatis, hasil akhirnya sulit ditebak. Ini berlaku jika secara teknis kedua tim yang akan bermain memiliki kemampuan sama, berada di kelas yang sederajat. Begitu pula Indonesia dan Malaysia. Timnas pernah melumat Malaysia (5-1) di pertandingan perdana penyisihan grup. Tapi mampu membalas di level lebih tinggi, final leg 1 dengan skor tak kalah mencolok (3-0). Secara teknis, dua tim berpeluang memenangkan leg 2. Soal siapa juara, ditentukan oleh faktor mental dan mengendalikan pertandingan sejak menit awal.
Markus, Zulkifli, Nasuha, Hamka, Maman, Firman, Busytomi, Ridwan, Arif, Irfan, Gonzales atau Bambang Pamungkas memiliki kemampuan teknis memadai. Jika ditopang semangat, mental dan keriangan bermain sepak bola mereka bisa menjadi sekumpulan burung garuda yang mengoyak gawang Malaysia. Namun begitu, kesalahan sedikit saja��"seperti dilakukan Maman Abdurrahman ketika gagal mengawal striker Malaysia di pertemuan pertama��"bisa berakibat fatal yang bisa mengubah hasil pertandingan. Oleh karena itu konsentrasi penuh dan terus siaga dalam 90 menit menjadi keniscayaan. Firman Utina Cs harus bermain tanpa kesalahan��"atau sesedikit mungkin cela untuk bisa mengoyak jala Malaysia empat gol tanpa balasan. Sebuah kerjaan yang sulit, meskipun bukan mustahil.
Sembari mengintip kemenangan dan juara, marilah kita juga menyiapkan mental jika Timnas Indonesia gagal. Ini yang absen dalam obrolan di warung kopi hingga nasihat Presiden dan Ketum PSSI. Kita semua tahu pertandingan nanti akan berlangsung panas karena sejumlah hal: Pertama, Indonesia butuh kemenangan minimal 4-0 atau berselisih empat gol dari Malaysia (5-1, 6-2, 7-3) dst. Tanpa itu, Indonesia tak bisa menjadi juara.
Kedua, atmosfer pertandingan yang melatarinya agak emosional setelah kejadian insiden laser di Bukit Jalil yang dituding sebagai titik balik rontoknya permainan Firman Utina sehingga dihajar Malaysia 3-0.
Ketiga, final tahun adalah kali ke sekian bagi Indonesia dan dibebani satu harapan besar pecinta Indonesia atas paceklik prestasi di cabang sepak bola sejak 1991 silam. Harapan menang membuncah hingga ke ubun-ubun.
Keempat, setiap bertanding dengan Malaysia, ada aroma "permusuhan" karena memang hubungan negeri serumpun ini selalu panas dingin yang disulut banyak hal: soal perbatasan, klaim seni/budaya, kekerasan pada TKI dan lain sebagainya.
Tapi, ini sepak bola, hanya sebuah permainan. Suporter boleh bersuka cita jika Timnas akhirnya juara Piala AFF 2010. Tapi andaipun, Timnas belum juara tahun ini, tak boleh ada sedikitpun darah menetes--apalagi nyawa melayang percuma. Suporter boleh kecewa, tapi tak perlu mengamuk, merusak dan memercikkan api kerusuhan di stadion termegah di Nusantara itu.
Perlu disadari Gelora Bung Karno adalah aset bangsa, milik rakyat Indonesia, bukan milik PSSI (apalagi Nurdin Halid). Jadi bersuka cita saat juara boleh-boleh saja, tapi janganlah kemudian mengamuk dan merusak saat gagal juara. Dengan cara ini, kita sadar peradaban. Bertindak sportif, bermartabat dan tak kehilangan akal sehat��"bahkan andaipun mimpi juara sirna. Tak perlulah kita dikungkung nasionalisme banal dan tak sejati di balik hingar-bingar gelaran Piala AFF 2010!
Marilah kita jadikan momentum keriangan bermain sepak bola dari Firman Utina Cs sebagai kebangkitan prestasi sepak bola Indonesia: juara atau belum juara. Pelatih Riedl telah memulai sebuah cara baru bagaimana bermain sepak bola yang enak ditonton. Tonggak ini harus dilanjutkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar